Thursday, November 20, 2008

melepasmu...

tak mungkin menyalahkan waktu
tak mungkin menyalahkan keadaaan
kau datang disaat ku membutuhkanmu
dari masalah hidupku bersamanya

semakin ku menyayangimu
semakin ku harus melepasmu dari hidupku
tak ingin lukai hatimu lebih dari ini
kita tak mungkin terus bersama
suatu saat nanti kau akan dapatkan
seorang yg akan dampingi hidupmu
biarkan ini menjadi kenangan
2 hati yg tak pernah menyatu

maafkan ku yg biarkan mu masuk ke dalam hidupku ini
maafkan aku yg harus melepasmu
walaupun ku tak ingin


semakin terasa cintamu semakin ku harus melepasmu dari hidupku

*Drive-Melepasmu*

Sunday, November 16, 2008

Seperti yang sudah-sudah….

Jakarta.

November.

Musim Hujan.

Banjir dimana-mana.

Macet.

Tubuh lelah dan penat terjebak didalamnya.

Dari tahun ke tahun selalu sama.

Aaaagggghhhhh !!!!!!!!!!!

Mau sampai kapan begini ??
Segitu beratnya untuk ga buang sampah sembarangan ?
Paling tidak, menyimpannya sejenak di dalam tas/saku celana jika memang tidak ada tong sampah didekatnya ?
Bagaimana dengan Menanam pohon disekitar kita ?
Atau, Mendesain bangunan/jalan dengan sistem pembuangan air yg baik ?

Tahu tidak ?
Yang terburuk, bahkan keledai pun ga jatuh di lubang yang sama.

Ketika tukang bakso bermimpi menjadi tuan putri

Ada seorang gadis berambut panjang hitam kelam dan tinggi badan semampai. Dia memenuhi standar cantik buat orang kebanyakan lah. Ceritanya, si gadis adalah penjual bakso keliling yang biasa berdagang di perumahan mewah.
*sedikit kejanggalan, jarang-jarang ada penjual kaki lima yang ngiter ke daerah mewah, yah, kecuali memang mereka menyasar pangsa para pembantu rumah tangga yang bosan dengan tembok dan rutinitas yang ada, para pembantu yang juga butuh sosialisasi dengan sesamanya*

Singkat cerita, tukang bakso tersebut bertemu dengan seorang pemuda kaya, mereka saling jatuh cinta, dan bersumpah menempuh segala rintangan yang ada demi cinta mereka. Akhirnya, si gadis penjual bakso pun akhirnya menikah dengan pemuda kaya pujaan hatinya.
Kisah standar dongeng-dongeng pengantar tidur anak-anak sebenarnya, kisah yang menjual mimpi.

Cerita tentang tukang bakso diatas hanyalah satu dari sekian banyak tukang-tukang bakso lainnya, mereka bisa menjelma kedalam berbagai macam bentuk, laki – perempuan; mahasiswa; pelajar; dan bentuk lainnya. Orang-orang yang bermimpi menjadi putri dan raja, seketika, instan.

Memang tidak ada yang salah dengan bermimpi menjadi putri/raja, tetapi ketika itu diinginkan terjadi secara instan maka bisa dikategorikan berbahaya. Dimana-mana yang namanya instan banyak negatifnya. Seperti mie instan, rasanya memang enak, seketika kenyang, tapi, tahukah kalau semangkuk mie instan bisa menjelma menjadi lemak dalam tubuh yang susah dibakar ?? selain itu, ada michin yang juga bisa menurunkan kecerdasan otak. Lalu, apa bagusnya kenikmatan sesaat yang berujung pada kesulitan di kemudian ?

Yang menyedihkan, para pemimpi-pemimpi semu itu merasuk dalam kehidupan para belia. Di suatu siang yang panas, saya mendengar percakapan para anak muda dari kampung di belakang komplek yang sedang nangkring di depan rumah. Kebetulan jalan di depan rumah saya cukup rindang, sehingga suka dijadikan tempat nongkrong anak-anak kampung belakang, sebelum akhirnya diusir karena menimbulkan keresahan.

Siang itu ada sekitar lima orang anak muda, usia SMP kelas satu lah, dengan komposisi tiga laki dan dua perempuan. Mereka memperbincangkan tentang beratnya sekolah. Si perempuan mengeluhkan bahwa biaya sekolahnya mahal, belum buku-bukunya, ia juga merasa bahwa dirinya segitu-gitu saja, tidak ada kemajuan dengan setiap hari bersekolah, malah tambah beban hidup karena harus mikir. Keraguan untuk bersekolah tinggi mulai menghantui dirinya, mengingat kini banyak pengangguran yang mengemban gelar sarjana. Sarjana saja menganggur, lalu buat apa bersekolah tinggi-tinggi ?? begitu katanya.

Teman lelakinya menyambut pernyataannya itu dengan tawa cela. Lalu layaknya teman yang baik, ia berusaha memberikan nasihat ke teman perempuannya tersebut, begini katanya ”udah, lu ga usah tinggi-tinggi sekolah, ngapain juga ? tar juga nganggur-nganggur aja, mending lu dandan yang cantik, lu cari deh tu om-om atau orang kaya yang nyari bini. Gampang kan ? lu kaya, ga perlu mikir lagi”.

Saya yang mendengar percakapan itu shock...

Bagaimana mungkin ? usia mereka masih sangat muda, usia yang (idealnya) penuh produktifitas dan kreatifitas yang bisa membangun bangsa yang sudah bobrok ini. Akan jadi apa negara ini kalau masyarakatnya saja sudah menggampangkan hidup seperti itu ? melacurkan diri sendiri... ah, rasanya terlalu mengerikan untuk membayangkan lebih jauh, memilih untuk melacurkan diri demi sebentuk status ”kaya” dengan cara instan.

Sudah sebegitu rusaknya kah moral para anak muda sekarang ? sebegitu pasif dan apatisnya terhadap kehidupan & pendidikan ? Bersekolah tinggi memang tidak akan menjamin kehidupan yang lebih baik, tetapi dengan bersekolah akan membentuk pola pikir seseorang. Merugilah orang-orang yang berniat sekolah untuk mendapatkan pekerjaan, karena Pekerjaan hanyalah sampingan dari sebuah institusi pendidikan, nyatanya, banyak dari mereka yang bekerja tidak sesuai dengan keilmuan yang ditempuhnya.

tentang seorang pengemis dan anaknya

Satu ibu menggendong seorang anak berusia hitungan bulan. Anak yang lusuh, dekil, kulit hitam, tidak ada keceriaan dalam tatapan matanya, ingus yang meleleh dari hidung sampai mendekati bibir atasnya, bentuk kepala yang sedikit lebih besar dibanding badannya yang kurus kering, rambut kuning kecoklatan dengan gurat kasar dan kaku. Bekas tetesan air mata di pipi yang telah mengering di kulitnya yang kotor –entah apa yang membuatnya menangis dan juga terdiam, mungkin lapar, mungkin mengantuk, mungkin penasaran akan sesuatu yang lewat di dekatnya, entahlah-.

Sementara si ibu –anggap saja dia ibu si anak kecil- yang menggendongnya berpakaian lusuh pula dan warna pakaian yang bladus, dengan tambahan kain yang melilit untuk menutupi kepala sekenanya, kulit tubuh yang juga hitam, dekil, sedikit gemuk, tatapan mata yang tampak memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu kepadanya, kepasrahan, bukan, melainkan lebih kepada kepasifan. Menggenggam sebuah kantong plastik yang sudah lecek bekas kemasan permen.

Berkeliling turun naik dari satu bis kota ke bis lainnya, terpapar oleh debu dan racun dari kendaraan yang lalu lalang, mengharap belas kasih para penumpang untuk memberikan entah selembar seribuan rupiah, atau bahkan hanya untuk sebuah koin recehan untuk menyambung hidup dirinya dan si anak yang entah berapa jumlah anak yang dimilikinya.

Si anak, yang masih dalam usia perkembangan, pasti membutuhkan makanan dan juga susu yang tidak sedikit. Akan makan apa kah dia ?? sang Ibu yang kondisinya ”tidak sehat” mungkin tidak akan bisa menghasilkan asi yang banyak dan layak bagi anaknya. Sementara dengan penghasilan sang ibu yang tidak menentu, sepertinya si anak tidak akan bisa mencecap gurihnya susu bayi, atau nikmatnya aneka bubur yang tersedia di pasaran.

Makan air tajin mungkin ?? ah, mampukah sang ibu sekedar membeli beras dan menanaknya sehingga bisa dihasilkan tajin ?

Minum air putih ?? semoga dunia masih mau berbaik hati untuk memberikan air putih sesuai kebutuhan si anak.

Tubuh kecil dan ringkih itu, apa saja kah yang telah ia telan sehingga bisa hidup bertahan sekian lamanya ???