Sunday, August 24, 2008

Gw lima, lo ?

Udah jadi makanan sehari-hari sekarang, kejebak dalam antrian panjang para penumpang busway, di tengah hiruk pikuknya jakarta.
Rasa-rasanya tujuan utama busway untuk menjadi angkutan tercepat dan ter-nyaman cuma tinggal kenangan… gila, gw bisa nunggu selama 40 menit dan ga ada satu pun busway yg lewat… mending kl ada yg lewat tapi penuh, ini ga ada satupun yg lewat. Udah gitu, giliran lewat, penuh banget, jadi ya percuma wahai percuma…
Kalau diitung-itung, jumlah waktu yang dibutuhkan buat sampe ke rumah dari kantor dengan menggunakan busway atau public bus (patas dll) menjadi sama, dua jam.

Kalau naik busway di jam pulang kantor, rasa-rasanya tidak akan mungkin/jarang lah bisa langsung dapet bus-nya begitu kita memasuki shelter. Untuk bisa naik bus biasanya membutuhkan beberapa bus lewat dahulu baru bisa naik. Makanya pertanyaan yang tepat untuk para penunggu busway adalah “berapa lo biasanya ?”, itu pertanyaan yang merujuk pada jumlah bis yang lewat di depan mata sampai akhirnya kita bisa naik ke bus yang ada. Kalau gw naek dari shelter dukuh atas menuju blok m, biasanya membutuhkan 4 bis baru bisa dapet bus, artinya gw naek bis yang kelima, dengan jarak per bus-nya ga tentu, barangkali cuma Allah dan supir bis-nya yang tahu. Jadi total waktu yang dibutuhkan untuk dapat bus di shelter tersebut tidak bisa diprediksikan.
Untungnya, antrian menuju ke Blok M di Shelter Dukuh Atas tidak sepanjang antrian yang menuju ragunan/kuningan. Kalau pernah ke shelter itu mungkin bisa terbayang jembatan panjang yang menghubungkan shelter menuju ragunan dengan shelter menuju Blok M. Di hari kerja dan jam pulang kantor, antrian menuju ragunan bisa sampai bagian paling atas dari jembatan tersebut. Muka-muka lusuh dan lelah tampak di sepanjang antrian tersebut. Setiap kali melalui mereka (kebetulan gw berlawanan arah dengan mereka), terbersit satu pertanyaan, dont they have any other choice ?? its such a waste waiting for the bus. Udah nunggu lama, pasti berdesak-desakan pula di dalam bus.

Sebenarnya di dalam busway tersebut terdapat stiker yang bertuliskan “kapasitas penumpang maksimal 85 orang”. Gw ngga pernah menghitung dengan pasti siy, belum, karena situasinya jelas tidak memungkinkan untuk menghitung jumlah pasti penumpang, yang ada nanti diamuk massa karena membuat ricuh di tengah penumpang yang berdesakan di dalam bus. Bagi penumpang rasanya bisa berdiri dengan nyaman dan tenang sudah susah, kalau musti dihadapkan pada orang sinting yang pengen nyensus jumlah penumpang dalam satu bus yang melaju diatas pukul 17.00 yang ada bikin emosi jiwa ga siy ?? Cuma yang jelas gw ragu jumlah penumpang yang ada dalam bis berjumlah kurang dari 85.

Jadi bertanya-tanya, pernah ga ya ada studi mengenai kinerja busway ini ?? ga usah studi lah, terkesan serius dan ilmiah sekali, paling tidak evaluasi. Evaluasi pun tidak bisa hanya sebatas evaluasi lalu hasilnya ditumpuk begitu saja di meja. Then what ??? itu pertanyaan pentingnya. Mungkin pihak manajemen juga sudah memikirkan atau bahkan sudah mulai melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pelayanannya, tapi sayangnya terasa lambat dan tidak signifikan.
Kebayang kan, dua jam untuk pulang dan satu jam untuk berangkat, total waktu yang diperlukan untuk mobilitas perhari jadi 3 jam. 3 jam yang kalo dialokasiin untuk kegiatan yang lain bisa jadi banyak hal, seperti bolak ke bandung (1 x perjalanan maksudnya); baca buku bisa dapet satu novel kalo novelnya enteng dan punya ketebalan sedang; bisa nyelesein beresin kamar kos kalau detail beresinnya termasuk nyapu, ngepel, dan mengelap tuts keyboard satu persatu, itu juga udah sambil liat-liat ulang tumpukan koleksi berkas; bisa 1 batch tidur siang; bisa selese nonton 1 film India (ko film Indihe seh ??? plis dey ga banget, heh, soalnya kan film Hollywood ga ada yang sampe berdurasi 3 jam); atau bisa dapet kegiatan lainnya lah yang produktif.
Biasanya gw punya kegiatan membaca di sela-sela aktifitas menunggu, tetapi kali ini untuk membaca di perjalanan pulang/berangkat kantor agak sulit untuk dilakukan. Pertama, gw naiknya kendaraan umum. Naik kendaraan umum disini ga kaya naik bis damri di bandung, yang probabilitasnya untuk duduk tinggi sekali. Jarang-jarang gw bisa dapat duduk, yang ada berdiri sepanjang jalan. Kedua, kalau pulang kantor, gw biasanya pulang setelah magrib, jadi hari sudah gelap, kalaupun dapat duduk di bis, ga kondusif untuk baca karena gelap. Penerangan yang ada ga men-support untuk aktifitas baca, malah mata gw jadi sakit. Jadi 3 jam gw akan jadi sia-sia, kecuali gw memaksimalkan untuk tidur/observasi –halah gaya banget-.
Kalau udah begini teringat pertanyaan yang diajukan seorang teman, ”bersedia pindah dan tinggal di bandung ?”, jawabannya , ”tentu saja, saya bersedia tinggal dimana pun itu asal waktu masih terasa harganya dan mampu diprediksikan”.
Jakarta oh Jakarta...

Kelapa Dua. 24.08.08
10.08 pm

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home